Pendidikan Inklusif Masih Sulit Diwujudkan

 

Antara Wacana, Regulasi, dan Realita di Lapangan

Meski pendidikan inklusif telah diamanatkan dalam berbagai regulasi nasional, implementasinya di lapangan masih menghadapi banyak hambatan.

Ketimpangan akses, keterbatasan tenaga pendidik terlatih, serta minimnya infrastruktur penunjang membuat anak-anak penyandang disabilitas belum sepenuhnya menikmati hak atas pendidikan yang setara.

Menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), per 2023 hanya sekitar 18% dari total sekolah di Indonesia yang menyatakan siap menerima siswa dengan kebutuhan khusus.

Itu pun belum sepenuhnya inklusif lebih cenderung bersifat integratif, di mana anak berkebutuhan khusus hanya ditempatkan di sekolah reguler, tanpa pendekatan pedagogis yang adaptif.

 

Minimnya Kesadaran dan Kompetensi Guru

Salah satu kendala utama implementasi pendidikan inklusif adalah kurangnya kompetensi guru dalam menghadapi ragam kebutuhan siswa.

Banyak guru belum memperoleh pelatihan mengenai pembelajaran diferensiatif, asesmen alternatif, maupun strategi komunikasi inklusif. Hanya sebagian kecil yang benar-benar memahami bagaimana mengakomodasi kebutuhan siswa tunanetra, tunarungu, atau penyandang autisme.

 

Infrastruktur dan Lingkungan Belajar yang Tidak Ramah Disabilitas

Aspek fisik sekolah juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak sekolah tidak memiliki aksesibilitas dasar seperti jalur landai, toilet khusus, atau marka braille.

Padahal, menurut Permendikbud Nomor 70 Tahun 2009, sekolah penyelenggara pendidikan inklusif wajib menyediakan sarana prasarana ramah disabilitas.

Di banyak daerah, masih ditemukan ruang kelas sempit, tangga curam tanpa pegangan, serta pencahayaan yang tidak memadai. Hal ini menyulitkan anak berkebutuhan khusus untuk mengikuti proses belajar dengan aman dan nyaman.

Paradigma Masyarakat Masih Diskriminatif

Isu inklusi tidak lepas dari persoalan stigma sosial. Masih banyak orang tua yang enggan menyekolahkan anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler karena khawatir akan mendapatkan penolakan.

Di sisi lain, beberapa sekolah juga masih memandang anak dengan disabilitas sebagai beban administratif ketimbang sebagai subjek belajar yang setara.

Kondisi ini mencerminkan masih kuatnya paradigma eksklusif dalam praktik pendidikan kita, meskipun jargon pendidikan untuk semua telah lama digaungkan.

 

Upaya Pemerintah: Antara Komitmen dan Tantangan

Pemerintah sebenarnya telah menunjukkan komitmen melalui berbagai kebijakan, seperti peluncuran Program Sekolah Penggerak, kurikulum merdeka belajar yang fleksibel, dan program guru penggerak. Namun, dalam praktiknya, pelibatan isu inklusi masih belum menyentuh akar persoalan secara menyeluruh.

Kementerian Sosial, Kemendikbudristek, hingga pemerintah daerah telah bersinergi melalui forum-forum disabilitas. Namun, sinergi ini masih bersifat sektoral dan belum menjangkau daerah-daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) secara merata.

 

Menjadikan Inklusi sebagai Arus Utama

Pelatihan Berkelanjutan untuk Guru dan Tenaga Kependidikan

Pemerintah perlu menjadikan pelatihan inklusi sebagai bagian dari program pengembangan profesi guru. Kurikulum pelatihan harus mencakup prinsip-prinsip pendidikan anak berkebutuhan khusus, strategi pengajaran diferensiatif, serta penggunaan teknologi bantu.

Revitalisasi Infrastruktur Sekolah

Pengadaan fasilitas ramah disabilitas di sekolah negeri dan swasta perlu diprioritaskan. Tidak hanya di kota besar, tetapi juga di daerah-daerah dengan keterbatasan akses.

Kampanye Anti-Stigma

Gerakan literasi inklusi harus melibatkan orang tua, siswa, dan masyarakat umum. Kampanye ini penting untuk membangun kesadaran bahwa setiap anak berhak atas lingkungan belajar yang aman dan suportif.

Kebijakan Anggaran Berbasis Inklusi

Dana BOS harus dapat digunakan untuk mendukung alat bantu belajar dan pengembangan layanan inklusif. Anggaran pendidikan harus memiliki indikator yang jelas untuk mengukur keberhasilan program inklusi.

 Baca Juga : Pendidikan Inklusif: Mengapa Setiap Anak Berhak Belajar?

Pendidikan yang Sungguh-sungguh Merangkul Semua

Mewujudkan pendidikan inklusif bukan sekadar menempatkan anak berkebutuhan khusus di kelas reguler. Ia menuntut perubahan paradigma, kebijakan yang berpihak, serta komitmen bersama dari seluruh pemangku kepentingan.

Sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945 Pasal 31, setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.

Maka, tanggung jawab moral dan konstitusional ini tidak boleh dibiarkan sebagai wacana kosong. Saatnya inklusi tidak lagi menjadi opsi, melainkan menjadi norma dalam setiap kebijakan pendidikan di Indonesia.

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *