Efektivitas Program BSU dalam Pemulihan Pasca-Pandemi
Konteks Kebijakan BSU
Di tengah upaya pemulihan ekonomi
nasional pasca-pandemi COVID-19, Pemerintah Republik Indonesia
mengimplementasikan sejumlah kebijakan strategis, salah satunya melalui Bantuan
Subsidi Upah (BSU).
Program ini, yang pertama kali
diluncurkan pada 2020, menjadi bagian integral dari skema Pemulihan Ekonomi
Nasional (PEN) yang bertujuan menjaga daya beli masyarakat, terutama segmen
pekerja formal berpenghasilan rendah.
Seiring
meredanya pandemi dan munculnya tantangan baru di sektor ketenagakerjaan,
evaluasi terhadap efektivitas BSU menjadi penting.
Apakah
program ini benar-benar berhasil mendorong konsumsi rumah tangga,
mempertahankan lapangan kerja, dan menopang pemulihan ekonomi nasional?
Pandemi COVID-19 yang melanda
Indonesia sejak awal 2020 membawa dampak signifikan terhadap perekonomian. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan
ekonomi nasional sempat terkontraksi hingga -2,07% pada tahun 2020, dengan
sektor konsumsi rumah tangga mengalami penurunan tajam.
Dalam konteks
ini, BSU dirancang sebagai instrumen fiskal untuk menjaga likuiditas rumah
tangga dan mendukung stabilitas konsumsi domestik.
Pada tahun
2020–2022, BSU disalurkan kepada pekerja formal dengan gaji di bawah Rp5 juta,
yang terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Nilai bantuan berkisar antara Rp600.000
hingga Rp1 juta, tergantung periode dan skema yang berlaku.
Subsidi Upah dalam Perspektif Ekonomi
Secara teori,
subsidi upah dapat dikategorikan sebagai bagian dari countercyclical fiscal
policy, yaitu kebijakan fiskal yang dirancang untuk meredam siklus
kontraksi ekonomi.
Subsidi ini
dapat meningkatkan disposable income pekerja, yang pada gilirannya
mendorong konsumsi, meningkatkan permintaan agregat, dan mengurangi potensi
resesi berkepanjangan.
Dalam jangka
pendek, subsidi upah berfungsi sebagai insentif bagi perusahaan untuk
mempertahankan tenaga kerja.
Dalam jangka
menengah, program semacam ini berpotensi mengurangi angka pengangguran terbuka
dan mendukung pemulihan sektor informal melalui efek pengganda konsumsi (multiplier
effect).
Evaluasi Efektivitas BSU: Bukti Empiris
dan Data
Dampak
terhadap Konsumsi Rumah Tangga
Laporan Indef
(2022) menunjukkan bahwa BSU berkontribusi terhadap peningkatan konsumsi rumah
tangga sebesar 1,1% pada kuartal III-2021. Pekerja penerima BSU mencatatkan
peningkatan belanja kebutuhan pokok dan pembayaran cicilan, yang turut menjaga
likuiditas sektor ritel dan jasa keuangan.
Selain itu,
hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2021 mencatat bahwa 73% penerima
BSU menggunakan dana tersebut untuk kebutuhan konsumsi primer, seperti pangan,
transportasi, dan pendidikan anak.
Penyerapan
Tenaga Kerja dan Pengurangan PHK
Dalam hal
ketenagakerjaan, BSU dinilai mampu menahan laju Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
di sektor-sektor padat karya. Data Kementerian Ketenagakerjaan pada 2021
mencatat penurunan tingkat PHK sebesar 18,7% dibandingkan tahun sebelumnya di
sektor manufaktur dan tekstil.
Hal ini
menunjukkan bahwa BSU tidak hanya bermanfaat secara individual, tetapi juga
berdampak sistemik pada stabilisasi struktur industri yang rentan terhadap
gejolak ekonomi.
Tantangan
dalam Implementasi BSU
Meskipun BSU
memberikan dampak positif, sejumlah tantangan masih membayangi efektivitas
program ini, antara lain:
Kelemahan
Data dan Penyaringan Penerima
Validitas dan
akurasi data pekerja yang berhak menerima bantuan masih menjadi persoalan.
Masih banyak pekerja yang terdaftar di BPJS namun tidak aktif, atau sebaliknya,
pekerja aktif yang belum terdaftar sehingga tidak terjangkau program.
Kesenjangan
ini memunculkan exclusion error (yang berhak tidak menerima) dan inclusion
error (yang tidak berhak tetapi menerima). Evaluasi dari BPKP (2021)
menyebutkan bahwa sekitar 5,3% data penerima BSU memiliki ketidaksesuaian data
NIK dan status ketenagakerjaan.
Durasi
Bantuan yang Terbatas
Sebagai program bantuan jangka pendek, BSU hanya diberikan satu kali dalam periode tertentu. Padahal, dampak pandemi terhadap pendapatan pekerja bersifat menengah hingga panjang. Tanpa program lanjutan atau skema produktif, efek BSU cenderung cepat menguap.
Rekomendasi Kebijakan untuk Keberlanjutan
Untuk
meningkatkan efektivitas dan keberlanjutan BSU, beberapa rekomendasi kebijakan
dapat dipertimbangkan:
1. Penguatan Basis Data Ketenagakerjaan
Perlu adanya integrasi antara sistem
BPJS Ketenagakerjaan, Dukcapil, dan Dinas Tenaga Kerja daerah untuk menciptakan
database tenaga kerja yang akurat dan real time.
2.
Digitalisasi dan Transparansi Penyaluran
Penggunaan
teknologi berbasis NIK dan rekening digital dapat mempercepat proses verifikasi
serta meminimalkan kebocoran dana. Model single data recipient yang
diadopsi oleh program bantuan sosial lain seperti PKH dapat menjadi acuan.
3. Perluasan
Cakupan ke Pekerja Informal
Hingga saat
ini, BSU masih fokus pada sektor formal. Padahal, pekerja informal menyumbang
lebih dari 59% dari total tenaga kerja di Indonesia (BPS, 2023). Perlu
pengembangan skema subsidi yang fleksibel dan terintegrasi dengan jaminan
sosial non-kontributif.
4. Skema
Bantuan Produktif Jangka Menengah
Alih-alih
hanya bersifat konsumtif, BSU ke depan dapat diintegrasikan dengan pelatihan
kerja, insentif usaha mikro, dan inkubasi wirausaha untuk menciptakan efek
jangka panjang terhadap produktivitas nasional.
Tekanan Ekonomi Akibat Pandemi
Program BSU
terbukti efektif dalam meredam tekanan ekonomi akibat pandemi, baik pada level
individu pekerja maupun agregat nasional. Namun, untuk menjadikannya instrumen
kebijakan jangka panjang, perlu reformasi struktural dalam sistem data,
penyaluran, dan cakupan penerima.
Dengan
perbaikan tersebut, subsidi upah tidak hanya akan menjadi respons krisis,
tetapi juga pilar penting dalam sistem perlindungan sosial dan ketenagakerjaan
di masa depan.