Krisis Keteladanan di Sekolah: Antara Sistem dan Realita
Keteladanan: Pilar yang Mulai Runtuh
Dunia pendidikan Indonesia tengah
menghadapi tantangan mendasar: krisis keteladanan di sekolah. Relasi antara guru dan siswa tak hanya terasa
renggang secara fisik, tetapi juga dalam aspek moral, emosional, bahkan
spiritual.
Sayangnya,
dalam praktiknya, banyak guru terjebak dalam sistem yang menekan. Alih-alih
menjadi role model, mereka disibukkan dengan laporan administrasi, pemenuhan
target kurikulum, dan keharusan mengejar nilai ujian. Situasi ini mengikis
ruang batin untuk membangun koneksi yang tulus dengan peserta didik.
Keteladanan itu lahir dari relasi yang manusiawi, bukan birokratis.
Keteladanan Bukan Sekadar Karakter Personal
Masalah
keteladanan di sekolah sering kali disalahpahami sebagai kegagalan individu
guru. Padahal, ini lebih merupakan persoalan sistemik. Guru bisa saja memiliki
niat dan semangat, namun ketika mereka dipaksa bekerja dalam sistem yang
menuntut efisiensi tanpa memberi dukungan emosional dan profesional yang
memadai, maka kelelahan tak bisa dihindari.
Beberapa
tantangan utama yang dihadapi guru:
- Beban kerja administratif yang berlebihan
- Minimnya waktu
untuk pengembangan diri dan refleksi
- Lingkungan kerja
yang kaku dan kurang mendukung kolaborasi
- Kurangnya
penghargaan terhadap peran guru sebagai pembentuk karakter
Remaja: Terlalu Jauh dari Figur Nyata
Digitalisasi
memberi banyak manfaat, namun juga membawa tantangan tersendiri. Anak-anak kini
lebih banyak berinteraksi dan mendapatkan nilai melalui layar daripada dari
dunia nyata. Figur inspiratif yang mereka kenal pun bukan lagi guru di sekolah,
melainkan konten kreator yang viral.
Menuju Sekolah yang Memanusiakan Guru
Lalu bagaimana kita bisa membangun
kembali keteladanan?
Pertama-tama, kita harus mengubah cara
pandang terhadap guru. Mereka bukan sekadar penyampai materi, melainkan agen
moral dan sosial yang butuh ruang untuk berkembang. Kita perlu:
- Mengurangi beban administratif guru
- Memberikan
pelatihan yang relevan dan kontekstual
- Membangun budaya sekolah yang
partisipatif dan suportif
- Menyeimbangkan
target akademik dengan penguatan karakter
Menciptakan Ekosistem Keteladanan
Keteladanan
bukanlah proyek pribadi, melainkan buah dari ekosistem. Dalam ekosistem ini,
setiap elemen—kepala sekolah, guru, orang tua, hingga siswa—memiliki peran
dalam membentuk kultur yang saling menguatkan.
Sekolah perlu membuka ruang diskusi, dialog, dan refleksi moral yang membumi. Guru harus diberi waktu untuk mendampingi siswa secara utuh, tidak hanya dalam jam pelajaran, tetapi juga dalam kehidupan sosial di sekolah.
Di Mana Teladan Itu Tumbuh?
Keteladanan
bukan hanya soal disiplin atau kepatuhan. Ia adalah wujud kehadiran,
konsistensi, dan ketulusan. Jika ia tak ditemukan di sekolah—lembaga yang
semestinya menjadi tempat belajar nilai—lalu di mana lagi anak-anak akan
melihatnya?
Pendidikan
bukan hanya tentang prestasi akademik, melainkan soal bagaimana kita menanamkan
nilai, membangun karakter, dan menunjukkan bahwa menjadi manusia adalah sebuah
proses belajar yang tak pernah selesai.
FAQ Seputar Krisis Keteladanan di Sekolah
Apa yang dimaksud dengan krisis keteladanan di sekolah?
Krisis keteladanan adalah kondisi di
mana figur teladan seperti guru mulai kehilangan pengaruh sebagai panutan moral
dan karakter bagi siswa, akibat tekanan sistemik, budaya digital, dan lemahnya
hubungan sosial di sekolah.
Mengapa siswa lebih mengidolakan figur digital?
Karena figur
digital seperti YouTuber atau TikToker lebih sering muncul dalam kehidupan
sehari-hari mereka melalui media sosial. Mereka dianggap lebih relatable dan
otentik oleh generasi muda saat ini.
Apakah pelatihan guru cukup untuk mengatasi masalah ini?
Tidak cukup.
Pelatihan penting, tapi solusi utama adalah membangun sistem sekolah yang
memberi ruang dan waktu bagi guru untuk menjadi pendidik yang autentik, bukan
sekadar pengisi formulir atau pelaksana kebijakan.
Apa yang bisa dilakukan orang tua?
Orang tua
bisa memperkuat keteladanan di rumah, menjalin komunikasi aktif dengan guru,
dan mendukung sekolah dalam membentuk lingkungan yang sehat secara emosional
dan moral.