Sejarah Monarki di Indonesia, Dari Kerajaan ke Republik


Hai, Sobat Nusantara! Kalau sekarang kita mengenal presiden sebagai pemimpin negara, pernahkah kamu membayangkan Indonesia di masa lalu? Jauh sebelum bendera Merah Putih berkibar, tanah air kita adalah panggung bagi ratusan kerajaan dan kesultanan yang megah. Sistem pemerintahan saat itu adalah monarki, di mana kekuasaan dipegang oleh seorang raja atau sultan.

Perjalanan dari sebuah wilayah yang dipenuhi kerajaan menjadi satu negara republik adalah sebuah babak sejarah yang luar biasa. Yuk, kita telusuri jejak panjang transformasi ini, dari mahkota raja hingga kursi presiden!

Puncak Kejayaan Monarki di Nusantara

Selama lebih dari seribu tahun, sistem monarki menjadi satu-satunya bentuk pemerintahan yang dikenal di nusantara. Era ini bisa kita bagi menjadi dua babak besar.

1. Era Kerajaan Hindu-Buddha

Inilah masa-masa awal berdirinya peradaban besar di Indonesia. Dalam sistem ini, raja bukan sekadar pemimpin, tapi seringkali dianggap sebagai titisan dewa di bumi atau Dewa-Raja. Kekuasaannya bersifat mutlak, dihormati, dan diwariskan secara turun-temurun.

Kamu pasti pernah dengar nama-nama legendaris seperti Kerajaan Kutai, Sriwijaya yang menguasai lautan, hingga Majapahit yang berhasil menyatukan sebagian besar wilayah nusantara di bawah panjinya. Mereka membangun candi-candi megah yang masih bisa kita saksikan hingga kini sebagai bukti kejayaan monarki pada masanya.

2. Era Kesultanan Islam

Masuknya pengaruh Islam membawa corak baru. Konsep Dewa-Raja perlahan berganti dengan gelar Sultan atau Sunan, yang tidak hanya menjadi pemimpin politik tetapi juga pemimpin agama bagi rakyatnya. Hukum dan aturan kerajaan mulai dipadukan dengan syariat Islam.

Kesultanan seperti Samudera Pasai, Demak, Mataram Islam, dan Ternate menjadi pusat kekuasaan dan penyebaran agama baru. Meski konsepnya berubah, inti dari sistem monarki, yaitu kekuasaan yang terpusat dan bersifat warisan tetap berjalan kuat.

Senja Kala Kerajaan dan Lahirnya Ide Kebangsaan

Kejayaan monarki di nusantara mulai meredup ketika bangsa Eropa datang. Pemerintah kolonial Belanda dengan cerdik menerapkan politik devide et impera (pecah belah dan kuasai). Mereka mengadu domba antar kerajaan dan secara perlahan melucuti kekuasaan para raja dan sultan.

Para penguasa lokal yang tadinya berdaulat penuh, statusnya diturunkan menjadi sekadar "pemimpin pinjaman" yang tunduk pada aturan Gubernur Jenderal Belanda. Kedaulatan mereka terkikis, dan kekayaan alam kerajaannya dieksploitasi.

Di tengah penindasan inilah, sebuah ide baru yang revolusioner lahir di kalangan para pemuda terpelajar. Mereka mulai berpikir melampaui batas-batas kerajaan atau suku mereka. Mereka mulai membayangkan sebuah identitas bersama sebagai satu bangsa: Indonesia. Puncaknya adalah Sumpah Pemuda pada 1928, yang menjadi fondasi ideologis untuk mendirikan sebuah negara baru.

Proklamasi 1945: Pilihan Tegas Menuju Republik

Saat Proklamasi Kemerdekaan dikumandangkan pada 17 Agustus 1945, para pendiri bangsa dihadapkan pada pilihan fundamental: Apa bentuk negara baru ini? Apakah akan menjadi sebuah kerajaan besar (monarki konstitusional) atau sebuah republik?

Dengan visi yang jauh ke depan, Soekarno, Hatta, dan para tokoh lainnya dengan tegas memilih bentuk Republik. Mengapa?

  • Kedaulatan di Tangan Rakyat: Republik menempatkan kedaulatan tertinggi di tangan rakyat, bukan di tangan satu keluarga bangsawan. Pemimpin dipilih oleh rakyat dan bertanggung jawab kepada rakyat.
  • Persatuan dan Kesetaraan: Bentuk republik dianggap paling ideal untuk menyatukan ratusan suku dan budaya yang berbeda dalam semangat kesetaraan. Tidak ada satu suku atau keluarga kerajaan yang lebih tinggi dari yang lain.
  • Memutus Rantai Feodalisme: Republik adalah simbol pemutusan hubungan dengan sistem feodal dan kolonial yang dianggap sudah tidak relevan.

Setelah proklamasi, banyak raja dan sultan yang dengan jiwa besar menyatakan bergabung dan meleburkan kerajaannya ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dari Takhta Politik ke Takhta Budaya

Lalu, ke mana perginya kerajaan-kerajaan itu sekarang? Meskipun sudah tidak memiliki kekuasaan politik, banyak keraton dan kesultanan yang masih eksis hingga hari ini. Peran mereka telah bertransformasi dari pusat pemerintahan menjadi pusat pelestarian budaya.

Keraton seperti di Yogyakarta, Surakarta, dan Cirebon kini menjadi penjaga tradisi, seni, adat istiadat, dan nilai-nilai luhur warisan leluhur. Mereka adalah simbol sejarah hidup yang mengingatkan kita semua akan akar budaya bangsa.

Baca Juga: Pengaruh Pemilu terhadap Pemerintahan di Indonesia

Secara khusus, Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi contoh unik di mana sejarah monarki dihargai secara istimewa, dengan Sultan yang bertakhta secara otomatis menjabat sebagai Gubernur.

FAQ

Tanya: Mengapa Indonesia memilih menjadi negara republik, bukan kerajaan?

Jawab: Para pendiri bangsa memilih bentuk republik karena dianggap paling adil dan cocok untuk menyatukan bangsa yang beragam. Sistem ini menempatkan kedaulatan di tangan rakyat melalui pemilihan umum, bukan berdasarkan garis keturunan seperti pada sistem monarki.

Tanya: Apakah di Indonesia masih ada raja atau sultan?

Jawab: Ya, masih ada. Namun, peran mereka saat ini bukan sebagai pemimpin politik negara, melainkan sebagai pemimpin adat dan pemangku budaya di lingkungan keraton atau wilayah adatnya masing-masing.

Tanya: Kerajaan apa yang dianggap paling besar dalam sejarah Indonesia?

Jawab: Secara luas, Kerajaan Majapahit dianggap sebagai kemaharajaan terbesar dalam sejarah nusantara. Wilayah kekuasaannya, menurut Sumpah Palapa Mahapatih Gajah Mada, mencakup hampir seluruh wilayah Indonesia modern dan sebagian negara tetangga.

Tanya: Apa yang membuat Yogyakarta disebut Daerah Istimewa?

Jawab: Keistimewaan Yogyakarta adalah bentuk pengakuan dan penghargaan dari negara atas peran besar Kesultanan Yogyakarta dalam perjuangan kemerdekaan RI. Salah satu bentuknya adalah Sultan Hamengkubuwono yang bertakhta secara otomatis menjabat sebagai Gubernur.

Tanya: Bagaimana nasib kerajaan-kerajaan setelah Indonesia merdeka?

Jawab: Sebagian besar raja dan sultan dengan sukarela menyatakan setia dan bergabung dengan Republik Indonesia. Mereka meleburkan wilayah kedaulatannya menjadi bagian dari NKRI, menandai berakhirnya kekuasaan politik mereka dan dimulainya babak baru sebagai penjaga budaya.

 

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *