Tragedi Pengepungan Tionghoa di Surabaya, Begini Sejarahnya

Tragedi Pengepungan Tionghoa di Surabaya, Begini Sejarahnya (1)

Saat berbicara tentang sejarah Surabaya di tahun 1945, benakmu mungkin langsung tertuju pada pekik heroik "Merdeka atau Mati!" dan keberanian arek-arek Suroboyo melawan tentara Sekutu. Peristiwa 10 November memang selayaknya dikenang sebagai tonggak perjuangan bangsa. Namun, tahukah kamu, di balik narasi besar kepahlawanan itu, tersimpan sebuah babak kelam yang sering kali luput dari catatan sejarah populer: tragedi pengepungan komunitas Tionghoa.

Kisah ini adalah pengingat bahwa sebuah revolusi bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, ia membakar semangat persatuan untuk kemerdekaan. Di sisi lain, ia bisa menyulut api kecurigaan dan kekerasan terhadap kelompok yang dianggap "berbeda". Mari kita selami lebih dalam sisi lain dari perjuangan di Surabaya ini.

Situasi Surabaya yang Mendidih: Api dalam Sekam

Untuk memahami mengapa peristiwa ini terjadi, kamu perlu membayangkan kondisi Surabaya pada Oktober hingga November 1945. Setelah Jepang menyerah, terjadi kekosongan kekuasaan. Para pejuang kemerdekaan Indonesia berusaha mengambil alih kendali, namun di saat yang sama, tentara Sekutu (Inggris) yang diboncengi NICA (Belanda) mulai berdatangan dengan niat kembali berkuasa.

Suasana kota menjadi sangat tegang. Sentimen anti-asing dan anti-penjajah begitu kuat. Sayangnya, sentimen ini sering kali meluas dan tidak pandang bulu. Komunitas Tionghoa, yang sudah ratusan tahun hidup berdampingan di Surabaya, tiba-tiba berada di posisi yang sangat sulit.

Mereka sering kali dipandang sebagai kelompok yang "eksklusif" dan berada di tengah-tengah—tidak dianggap pribumi sepenuhnya, tetapi juga bukan Eropa. Parahnya lagi, muncul desas-desus dan hoaks yang menuduh orang-orang Tionghoa menjadi mata-mata NICA atau menimbun bahan makanan. Kecurigaan yang tak berdasar ini menjadi pemantik dari tragedi yang akan datang.

Pengepungan di Jantung Pecinan

Puncak ketegangan terjadi sekitar akhir Oktober 1945, menjelang meletusnya pertempuran besar. Kawasan pecinan Surabaya, terutama di sekitar Jalan Slompretan, Kranggan, dan yang kala itu dikenal sebagai Hoogendorpstraat (kini Jalan Cokelat), menjadi pusat pengepungan.

Coba kamu bayangkan, ribuan warga Tionghoa, dari anak-anak hingga lansia, terperangkap di dalam kampung mereka sendiri. Massa yang marah dan termakan isu mendirikan barikade-barikade, memblokir setiap akses keluar-masuk. Mereka tidak bisa mencari makanan, tidak bisa bekerja, dan hidup dalam ketakutan yang mencekam.

Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa kekerasan fisik pun tak terhindarkan. Penjarahan terjadi di banyak toko dan rumah. Beberapa bangunan bahkan dibakar. Suara teriakan, tangisan, dan ketakutan menggema di lorong-lorong pecinan yang padat.

Dalam situasi genting ini, sebagian komunitas Tionghoa mencoba membela diri dengan membentuk badan keamanan swakarsa bernama Pao An Tui. Namun, keberadaan Pao An Tui justru sering disalahartikan oleh sebagian pejuang sebagai bukti bahwa mereka memihak musuh, padahal tujuan utamanya adalah melindungi keluarga dan harta benda dari amukan massa yang tak terkendali.

Sisi Kemanusiaan yang Meredam Amarah

Di tengah kekacauan, masih ada sisi kemanusiaan yang bersinar. Beberapa tokoh pejuang Indonesia menyadari bahwa kekerasan terhadap sesama warga sipil ini adalah sebuah kesalahan. Mereka berusaha menenangkan massa dan menjelaskan bahwa musuh sebenarnya adalah NICA dan Sekutu, bukan tetangga mereka sendiri yang beretnis Tionghoa.

Perlahan, seiring fokus perjuangan beralih sepenuhnya untuk menghadapi gempuran tentara Inggris pada 10 November, pengepungan terhadap komunitas Tionghoa mulai mereda. Blokade dibuka, meski trauma dan kerugian yang ditinggalkan begitu mendalam. Peristiwa ini menjadi luka batin yang membekas bagi komunitas Tionghoa Surabaya.

Mengapa Kisah Ini Penting untuk Kamu Ketahui?

Mengenang tragedi pengepungan Tionghoa bukan berarti kita ingin membuka luka lama atau menyalahkan para pahlawan bangsa. Justru sebaliknya. Dengan memahami kisah ini, kamu bisa mendapatkan beberapa pelajaran penting:

  1. Sejarah Itu Kompleks: Tidak ada narasi yang hitam-putih. Di balik sebuah kisah kepahlawanan, bisa jadi ada korban tak bersalah dari kelompok lain.
  2. Bahaya Hoaks dan Generalisasi: Peristiwa ini adalah bukti nyata betapa berbahayanya kebencian yang dipicu oleh desas-desus dan anggapan pukul rata terhadap suatu kelompok.
  3. Kemanusiaan di Atas Segalanya: Perjuangan merebut kemerdekaan adalah hal yang mulia, tetapi ia tidak boleh menjustifikasi kekerasan terhadap warga sipil yang tak berdaya.

Kisah ini adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah Surabaya dan sejarah Indonesia. Dengan mengakuinya, kita belajar menjadi bangsa yang lebih bijaksana, yang tidak hanya merayakan kemenangan, tetapi juga merenungkan tragedi agar tidak terulang kembali di masa depan.

FAQ

Tanya: Kapan tepatnya peristiwa pengepungan ini terjadi?

Jawab: Peristiwa ini memuncak pada periode akhir Oktober hingga awal November 1945, tepat sebelum dan selama fase awal Pertempuran Surabaya yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945.

Tanya: Mengapa komunitas Tionghoa yang menjadi sasaran?

Jawab: Ada beberapa faktor kompleks. Pertama, mereka sering dianggap sebagai kelompok "perantara" oleh Belanda di masa kolonial, sehingga dicurigai pro-NICA. Kedua, adanya kesenjangan ekonomi membuat mereka rentan menjadi sasaran penjarahan. Ketiga, dan yang paling fatal, adalah menyebarnya hoaks dan propaganda yang menuduh mereka sebagai mata-mata musuh.

Tanya: Siapa itu Pao An Tui? Apakah mereka melawan pejuang Indonesia?

Jawab: Pao An Tui adalah badan keamanan yang dibentuk oleh komunitas Tionghoa untuk melindungi diri (swakarsa) dari penjarahan dan kekerasan massa. Tujuan utamanya adalah defensif. Namun, dalam suasana kacau dan penuh curiga, keberadaan mereka kadang disalahartikan sebagai kelompok bersenjata yang memihak Belanda, yang memperburuk situasi.

Tanya: Bagaimana nasib para korban setelah pengepungan berakhir?

Jawab: Banyak dari mereka mengalami trauma mendalam, kehilangan tempat tinggal, dan harta benda. Meski pengepungan berakhir, butuh waktu lama bagi komunitas untuk pulih dan membangun kembali kehidupannya di tengah situasi revolusi yang masih bergejolak.

 

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *