Pemerintahan Demokratis: Masihkah Kita Punya?

Pemerintahan Demokratis: Masihkah Kita Punya?!aligncenter

Ketika Demokrasi Harus Diuji Realitas

Demokrasi, secara teoritis, adalah sistem pemerintahan yang ideal: kekuasaan berada di tangan rakyat, dengan prinsip partisipasi aktif, kebebasan sipil, dan keadilan yang merata. Namun, ketika dihadapkan pada kenyataan kontemporer, apakah demokrasi masih berjalan sebagaimana mestinya?

Di banyak negara, termasuk Indonesia, demokrasi menghadapi tantangan besar: menurunnya kepercayaan publik, meningkatnya disinformasi, dan munculnya bentuk otoritarianisme modern yang terselubung dalam aturan legal.

Apa yang Dimaksud dengan Pemerintahan Demokratis?

Prinsip-Prinsip Demokrasi yang Seharusnya Dipegang Teguh

Sebuah pemerintahan dapat dikatakan demokratis jika memenuhi sejumlah prinsip fundamental berikut:

  • Partisipasi politik aktif dari seluruh warga negara, bukan hanya saat pemilu
  • Pemilu yang adil dan bebas, serta tidak dikendalikan kekuatan oligarki
  • Kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berserikat
  • Supremasi hukum dan pemisahan kekuasaan yang jelas
  • Akuntabilitas dan transparansi dalam setiap kebijakan publik

Demokrasi di Indonesia: Antara Idealisme dan Realitas

Sejak era reformasi 1998, Indonesia sering disebut sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia. Pemilihan umum langsung, kebebasan pers, dan ruang publik yang relatif terbuka adalah pencapaian penting.

Namun, laporan The Economist Intelligence Unit (2023) menempatkan Indonesia dalam kategori flawed democracy—sebuah tanda bahwa demokrasi kita mengalami stagnasi, bahkan potensi kemunduran.

Beberapa tantangan utama demokrasi Indonesia hari ini:

  • Politisasi birokrasi dan lembaga negara
  • Minimnya ruang kritik dan kebebasan sipil
  • Oligarki ekonomi-politik yang menguasai proses kebijakan
  • Transaksionalisme dalam pemilu dan perwakilan politik

Tantangan Serius dalam Demokrasi Modern

Polarisasi, Disinformasi, dan Ruang Publik yang Terkikis

1. Polarisasi Politik dan Disinformasi
Media sosial memang memberikan ruang bagi ekspresi publik, namun juga menyuburkan ekosistem disinformasi, ujaran kebencian, dan polarisasi sosial. Ini menjauhkan publik dari diskusi rasional dan memperlemah demokrasi substansial.

2. Lemahnya Pendidikan Politik
Banyak warga memaknai demokrasi hanya sebatas “memilih”, bukan “mengawasi dan berpartisipasi”. Minimnya pendidikan politik membuat warga cenderung apatis atau terjebak dalam politik identitas.

3. Otoritarianisme Gaya Baru
Represi terhadap aktivis, penggunaan pasal karet, hingga pembatasan demonstrasi menunjukkan gejala otoritarianisme yang dibungkus dalam sistem demokratis.
Fenomena ini kian mengaburkan batas antara demokrasi dan otokrasi.

 

Masihkah Kita Punya Pemerintahan Demokratis?

Secara struktural, ya. Kita masih memiliki pemilu, parlemen, dan sistem pengadilan. Namun secara substansial, demokrasi kita perlu dievaluasi. Jika suara rakyat tidak terakomodasi dalam proses kebijakan, jika akses terhadap informasi dibatasi, dan jika hanya segelintir elite yang mendominasi panggung politik, maka pertanyaan ini menjadi relevan: demokrasi siapa yang kita jalankan?

Siapa yang Bertanggung Jawab Menjaga Demokrasi?

Peran Masyarakat Sipil

Warga negara harus lebih aktif dalam mengawal kebijakan publik, bukan hanya datang ke bilik suara setiap lima tahun. Partisipasi harian, melalui forum warga, media sosial yang sehat, dan pengawasan publik menjadi pilar utama.

Peran Negara

Pemerintah bertanggung jawab menciptakan ekosistem demokrasi yang sehat, termasuk keterbukaan informasi, pendidikan politik, serta perlindungan hak sipil dan politik bagi semua warga.

Peran Teknologi Digital

Digitalisasi pemerintahan membuka peluang untuk meningkatkan transparansi, namun juga mengandung risiko penyalahgunaan. Di sinilah pentingnya literasi digital dan penguatan regulasi yang berpihak pada kebebasan sipil.

Baca Juga : Mengupas Struktur Pemerintahan dari Pusat ke Daerah

Demokrasi Memang Tidak Sempurna, Tapi Masih Pilihan Terbaik

Demokrasi memang tidak menjanjikan solusi instan. Namun sistem ini tetap memberi ruang bagi dialog, perbaikan, dan keterlibatan rakyat. Daripada menolaknya karena kecewa, lebih baik kita perbaiki dan rawat bersama.

Demokrasi bukan milik elit, bukan sekadar pemilu lima tahunan. Ia adalah kesadaran kolektif bahwa setiap kebijakan publik harus tunduk pada kehendak rakyat dan hukum. Bila kita bertanya “Masihkah kita punya pemerintahan demokratis?”, maka jawabannya ada pada kita sendiri—apakah kita masih mau berpikir kritis, bersuara, dan bertindak untuk mempertahankannya?

Postingan Terkait

Formulir Kontak

Name

Email *

Message *